Apakah Tasawuf dan Thariqah itu Bid

Apakah Tasawuf dan Thariqah itu Bid'ah?

Ditulis pada: | Oleh:

Setelah melalui ulasan yang panjang tentang tasawuf sejak masa Rasulullah SAW hingga di masa sufi-sufi besar, Prof. Dr. Hamka menuliskan di bagian akhir bukunya bahwasanya "Tasawuf Islam adalah bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah itu sendiri." Demikianlah kesimpulan sang ulama ternama, yang di negeri kita akrab dipanggil Buya Hamka ini, sebagaimana kita baca dalam buku beliau Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya.

Adanya tuduhan bid'ah terhadap tasawuf, sebagian besar adalah karena kesalahpahaman, atau memang karena adanya beberapa praktik yang menyimpang di suatu majelis atau kelompok tertentu — yang tentu tidak hanya bisa terjadi di tasawuf saja, melainkan juga di berbagai dimensi keislaman lainnya.

Tasawuf bukanlah sesuatu yang terpisah dari agama. Tasawuf adalah dimensi batin dari agama, yakni aspek Ihsan dari tiga aspek besar yang membentuk Diin Al-Islam secara utuh: Iman (tauhid), Islam (syariat) dan Ihsan (tasawuf, atau akhlaq).

Sementara thariqah sendiri adalah sebuah metode khusus dalam ilmu tasawuf dan jalan pertaubatan, jalan kembali kepada Allah Ta'ala, melalui penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), penjagaan hati (qalb) dari hal-hal yang mengotorinya, disertai laku suluk yang berbeda-beda di masing-masing thariqah dengan panduan ketat seorang mursyid yang haqq.

Tasawuf Menurut Para Ulama Syariat

Banyak dari para ulama syariat atau ilmu fiqh ternama, para mufassir, termasuk para imam dari empat mazhab Ahlus Sunnah adalah para pemerhati yang simpatik bahkan pengamal tasawuf. Imam Syafi'i pernah berkata: "Tiga hal yang aku dibuat senang dengannya, yaitu: tidak berpura-pura, memperlakukan orang lain dengan baik, dan mengikuti jalan tasawuf" — sebagaimana tertulis dalam kitab Kasyf Al-Khafa dari Al-'Ajluni. Demikian pula dengan Imam Malik yang bahkan secara lugas mengatakan, "Barangsiapa bertasawuf tanpa syariat, maka ia telah zindiq (menampakkan keislaman, tapi menyembunyikan kekafiran). Dan barangsiapa bersyariat tanpa tasawuf, maka ia telah fasiq. Barangsiapa yang melakukan keduanya, akan memperoleh kebenaran" — sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa muhadits.

Majmu'a Fatwa

Ibnu Taymiyah, yang dijuluki "Syaikhul Islam", menulis dalam Majmu'a Fatwa bahwa: "Istilah tasawuf ditujukan kepada ilmu-ilmu yang terkait dengan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan Al-Ihsan."

Ibnu Taymiyah, seorang ulama besar syariat yang dijuluki "Syaikhul Islam", dan termasuk ulama yang sangat getol dalam memerangi bid'ah pada jamannya, pernah menuliskan dalam Majmu'a Fatwa bahwa: "Istilah tasawuf ditujukan kepada ilmu-ilmu yang terkait dengan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan Al-Ihsan." Lalu, lanjut beliau pula, "As-sufi huwa fil haqiqa nau'un min as-siddiqin. Fa huwa as-siddiq alladzi ikhtassa bil zuhadi wal 'ibada," — Sufi pada hakikatnya adalah termasuk siddiq (jalan kebenaran), yakni siddiq yang mengkhususkan diri pada zuhud dan ibadah. Ibnu Taymiyah juga sempat menuliskan sebuah syarh (ulasan, tinjauan) yang panjang dan penuh simpatik terhadap buku Futuh Al-Ghaib dari Abdul Qadir Al-Jailani, seorang sufi besar dan mursyid pendiri Thariqah Qadiriyah.

Syariat Menurut Para Ulama Tasawuf

Di sisi lain, bagaimana pandangan para ulama tasawuf sendiri terhadap syariat?

Junaid al-Baghdadi, seorang sufi besar yang hidup di abad ke-9 M, beliau dijuluki "Sulthanul Thariqah" karena menjadi "penghulu" dari banyak garis thariqah yang berkembang di seluruh dunia (yang diistilahkan sebagai "Tasawuf Baghdadi"). Ketika ditanya tentang sebuah kelompok yang merasa telah melampaui tahapan syariat, dan masuk ke tingkatan wasil (orang yang sudah mencapai) sehingga mereka tidak lagi membutuhkan syariat, beliau menjawab: "Benar, mereka telah wasil, tapi wasil ke neraka!"

Demikianlah, bagi seorang sufi besar seperti Junaid: syariat dan tasawuf tak mungkin dipisahkan.

Kita juga mengenal tokoh-tokoh sufi seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Atha'illah sebagai ulama yang tidak hanya menekuni ilmu tasawuf, melainkan juga ilmu fiqh. Ibnu Atha'illah misalnya, sang penulis Al-Hikam, Tajul 'Arus, dan berbagai kitab rujukan yang banyak dikaji di berbagai pesantren kita itu, selain sebagai mursyid Thariqah Syadziliyah, adalah juga seorang ulama syariat dan pengajar ternama di Masjid Al-Azhar, Mesir.

Dan seperti itu pulalah pandangan para sufi besar lainnya, seperti Abu Sulaiman al-Darani, Ibrahim bin Adham, Ma'ruf al-Kharkhi, Abdul Qadir Al-Jailani, Hammad al-Dabbas, Abu al-Bayan dan masih banyak lagi yang lain — di mana bahkan Ibnu Taymiyah sendiri, dalam Majmu'a Fatwa, menjuluki mereka sebagai "masyaikhul Islam, masyaikhul Kitab wal Sunnah, wal a'immatul huda", yakni para syaikh Islam, syaikh Kitabullah dan Sunnah, para imam yang memberikan petunjuk dengan benar, bersih lantaran ucapan dan tindakannya tidak pernah bertolak belakang dengan Al-Qur'an dan Sunnah, serta selaras dengan syariat.

Ini semua hanya beberapa gelintir bukti dari suatu "sinergi" yang tak terpisahkan antara syariat dan tasawuf dalam penegakan Diin Al-Islam yang semurni-murninya di kalangan para ulama syariat maupun para ulama tasawuf.

Tentang Buku Talbis Iblis, karya Ibnul Jauzi

Pandangan negatif terhadap tasawuf, sufi, atau thariqah yang beredar di masyarakat awam, sedikit banyak muncul dari kesalahpahaman dalam membaca buku-buku seperti Talbis Iblis ("Tipu Daya Iblis") karya Ibnul Jauzi. Ibnul Jauzi adalah seorang ulama fiqh ternama asal Baghdad yang juga merupakan sejarawan, ahli ilmu hadits dan tafsir, yang hidup di abad 12 M.

Buku yang cukup populer di negeri kita ini memang kerap dipakai sebagai argumen oleh suatu kelompok tertentu untuk mencap sesat dan bid'ah-nya tasawuf dan thariqah dan menganggapnya "tipu daya iblis" atau talbis iblis. Namun jika kita menilik lebih jauh, hal itu bertolak belakang dengan konteks dan maksud Ibnul Jauzi sendiri dalam menulis buku ini.

Dalam Talbis Iblis, Ibnul Jauzi sebenarnya sedang berupaya memberi peringatan akan bahaya tipu daya iblis — yakni hal-hal yang dipandang baik, tapi sebenarnya sebuah kesesatan — tidak hanya kepada kalangan sufi, melainkan kepada semua kalangan. Amat dipahami bahwa di masa itu, Ibnul Jauzi adalah salah satu ulama yang terdepan dalam memerangi bid'ah jamannya, yaitu dari berbagai pandangan yang menurut beliau tidak sesuai dengan ajaran yang semestinya.

Ibnul Jauzi tidak hanya memberi peringatan kepada kelompok sufi saja, melainkan berbagai kalangan dalam agama, seperti khawarij, rafidah, batiniyah, bahkan sampai para filsuf, ahli tafsir, fuqaha (ahli ilmu fiqh), qurra' (pembaca Al-Qur'an), para ahli hadits (terutama asbabul hadits) dan masih banyak lagi yang lain. Beliau tidak secara khusus menentang ajaran sufi atau tasawuf, melainkan lebih pada menguraikan seluk-beluk "tipu daya iblis" yang senantiasa mengintai kalangan mana pun, tidak hanya kaum sufi.

Buktinya adalah bahwa di dalam buku Talbis Iblis ini (Bab 11), Ibnul Jauzi justru secara eksplisit menyebutkan beberapa tokoh sufi besar di masa-masa awal, seperti Abu Sulaiman al-Darani, Abu Yazid al-Bistami, dan Junaid al-Baghdadi sebagai orang-orang benar yang menekankan pentingnya berpegang pada Kitabullah dan Sunnah dalam pengajarannya.

Majmu'a Fatwa

Dalam buku Shifatush Shafwa, Ibnul Jauzi justru memuji para tokoh sufi ternama, seperti Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham, Ma'ruf al-Kharkhi, bahkan Rabi'atul Adawiyah (sufi wanita ternama dari Basra).

Di samping itu, jika kita tilik buku-buku beliau yang lain seperti Shifatush Shafwa ("Sifat-Sifat Terpilih"), Ibnul Jauzi malahan memuji lebih banyak lagi tokoh sufi ternama, seperti Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham, Ma'ruf al-Kharkhi, bahkan Rabi'atul Adawiyah (sufi wanita ternama dari Basra). Beliau berpendapat di dalam buku itu bahwa merekalah para auliya' yang sebenarnya, yakni yang tidak menyalahi aqidah dan syari'at agama.

Bahkan tentang tokoh-tokoh sufi itu, beliau menuliskan, "Para auliya' dan shalihin itu adalah maksud dari kejadian/penciptaan ("al-auliya' wa ash-shalihun hum al-maqsud min al-kaun"). Merekalah orang-orang yang berilmu dan yang mengamalkannya dengan pengetahuan yang benar… yakni mengamalkan apa yang diketahuinya, sedikit tersentuh pada kehidupan dunia, mencari kehidupan akhirat, dan bersiap mati dengan mata yang senantiasa awas dan bekal yang cukup."

Ini semua menunjukkan bahwa Ibnul Jauzi, melalui bukunya Talbis Iblis ini, tidak sedang "menyerang" semua kaum sufi atau seluruh ajaran sufi atau tasawuf — yang justru beliau pandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama — melainkan sebagian kelompok saja yang menurut beliau tidak sesuai dengan ajaran yang semestinya, yakni yang tidak melandaskan ajarannya pada Al-Qur'an dan Sunnah.

Tasawuf Bukanlah Bid'ah

Rasulullah SAW memang tidak secara khusus menyebut istilah "tasawuf", karena di masa Beliau, dimensi batiniah dan lahiriah, tasawuf dan syariatnya, menyatu utuh dalam setiap pengajaran yang Beliau bawa. Diin Al-Islam tidak dipisah-pisahkan dari ketiga pilar yang membangunnya: Iman, Islam dan Ihsan. Baru lama kemudian, karena adanya perubahan situasi kondisi tertentu di masyarakat, aspek Ihsan yang menjadi dimensi batin agama, mulai kerap dilupakan orang (seperti penyebutan Iman-Islam saja di berbagai pengajian) dan diberi label "tasawuf" — yang sebenarnya merujuk pada hal yang sama, yakni Ihsan.

Rasulullah SAW bersabda: "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau." — (HR. Muslim)

Jika kita mengatakan bahwa ilmu tasawuf tidak ada tuntunannya di jaman Rasulullah SAW dan merupakan bid'ah (yaitu mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada sebelumnya) sehingga menjadi sebuah kesesatan, maka itu seperti halnya mengatakan bahwa ilmu hadits sebagai bid'ah dan sesat. Bukankah pada jaman Rasulullah SAW tidak ada yang namanya ilmu hadits — bahkan penulisan hadits sendiri pada masa itu dilarang oleh Rasulullah SAW karena dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat Al-Qur'an, sebagaimana pernah disabdakan oleh Beliau: "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur'an. Barangsiapa menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur'an, hapuslah." (HR. Muslim, Ahmad).

Alchemy of Happiness

Disiplin-disiplin ilmu yang sangat penting seperti ilmu tajwid, ilmu tafsir, dan ilmu tauhid, tidak kemudian serta merta dianggap bid'ah dan sesat hanya lantaran pada jaman Rasulullah hal-hal semacam itu tidak ada.

Demikian pula berbagai aspek dari disiplin-disiplin ilmu lain yang sangat penting seperti ilmu tajwid (teknik membaca Al-Qur'an), ilmu tafsir, dan ilmu tauhid, tidak kemudian serta merta dianggap bid'ah dan sesat hanya lantaran pada jaman Rasulullah hal-hal semacam itu tidak ada. Sehingga kita, kaum Muslim, memandang konsep bid'ah lebih kepada sifat tujuannya, bukan cara dalam pencapaiannya. Imam Syafi'i mengatakan, "Sesuatu yang memiliki landasan (mustanad) dari syariat (Al-Qur'an dan Sunnah) maka itu bukanlah bid'ah, sekalipun Kaum Muslim awal tidak melakukannya."

Syariat dan Tasawuf, Tak Dapat Dipisahkan

Hukum syariat sebagian besar hanya menyentuh apa-apa yang tampak secara fisik saja. Hukum tentang shalat, misalnya, menyentuh sekian banyak aspek tentang tata cara shalat, bagaimana gerakan shalat yang benar, kapan dilakukan, apa syarat-syaratnya, siapa yang berhak menjadi imam, dan masih banyak lagi aspek fiqh lainnya. Namun hukum syariat belum menyentuh aspek-aspek batin yang menjadi titik fokus dalam ilmu tasawuf dan justru menjadi inti-sari dari ibadah itu sendiri, misalnya tentang khusyu', tentang kerendahan diri dan sopan santun di hadapan-Nya, tentang penghadapan di dalam hati, tentang aspek-aspek Ihsan sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW di atas: "... beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau."

Bukankah kita diperintahkan untuk meninggalkan tidak hanya dosa lahiriah, melainkan juga yang batiniah:

وَذَرُوا۟ ظَـهِرَ ٱلْإِثْمِ وَبَاطِنَهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْسِبُونَ ٱلْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا۟ يَقْتَرِفُونَ

Dan tinggalkanlah dosa yang dzahir dan yang batin. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan dibalas, disebabkan apa yang mereka telah kerjakan. – (Q.S. Al-An'aam [6]: 120)

Jika hukum-hukum syariat memberi pagar kepada kita agar terhindar dari dosa-dosa yang dzahir (yang tampak, lahiriah), maka ilmu tasawuf akan mengajak kita untuk memperhatikan ke dalam diri, memahami dosa-dosa yang bersifat batin seperti: iri, dengki, ketakutan akan masa depan, kekhawatiran, ketidaksabaran, keluh kesah, kecintaan akan dunia, kemelekatan terhadap sesuatu, riya', kebanggaan diri, ilusi, obsesi, dan berjuta ragam variasi hawa nafsu dan syahwat yang telah sekian lama menjadi "berhala" dan menghuni relung-relung hati (qalb).

أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـهَهُۥ هَوَىهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? — (Q.S. Al-Furqaan [25]: 43)

Demikianlah, sudah selayaknya bagi seorang Muslim untuk senantiasa menjalankan agamanya secara utuh dalam ketiga aspeknya: Iman (aspek tauhid), Islam (aspek syariat), dan Ihsan (tasawuf, aspek akhlaq atau aspek batin).

Wallahu'alam.

Referensi:
1. Hamka, Prof. Dr., Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, 2016
2. Al-Jawzi, Abu-l Faraj Ibn, Talbis Iblis (The Devil’s Deception)
3. Al-Rifai, Sayyid Rami, Islamic Journal Issue #3 Ramadhan 1436H
4. Kafie, Jamaluddin, Tasawuf Kontemporer, 2003
5. Kabbani, S.H. Mohammed, Ibn Taymiyya the Sufi Shaikh, link.