Kemursyidan

Kemursyidan

Peran dan Tugasnya

SECARA umum, setiap manusia memiliki dimensi lahiriah dan dimensi batiniah. Dimensi lahiriah berpusat pada akal budinya (intelektualitas), sedangkan dimensi bathiniah berpusat pada akal hatinya (lubb). Sebagaimana jasad manusia yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan intelektual dalam hidupnya di dunia, demikian pula jiwa manusia. Ia memerlukan pertumbuhan dan perkembangan pada aspek hati maupun akal hatinya.

Untuk mengenal dan taqarrub kepada Allah, manusia harus melakukan tazkiyatun-nafs, atau proses pemurnian jiwa (nafs) dari hawa nafsunya. Pintu gerbang proses tazkiyatun-nafs adalah pertaubatan. Oleh karena itu, tugas khusus seorang Mursyid dalam sebuah thariqah adalah untuk memandu manusia dalam melakukan proses pertaubatan, untuk melalui serangkaian tahapan tazkiyatun-nafs hingga sang murid dapat mengenali jiwa sejati (nafs muthmainah) dan shiratal mustaqim-nya sendiri. Proses tazkiyatun-nafs sendiri akan terkait dengan “membunuh jiwa-jiwamu” (jamak), yaitu menghilangkan secara perlahan-lahan semua kehendak diri yang berasal dari kehendak berbagai hawa nafsu dan syahwat dalam diri kita, yang tidak bersesuaian dengan kehendak Allah.

Persoalan ini dinyatakan Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ [4] : 66-68.

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُ‌جُوا مِن دِيَارِ‌كُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِّنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرً‌ا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

وَإِذًا لَّآتَيْنَاهُم مِّن لَّدُنَّا أَجْرً‌ا عَظِيمًا

وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَ‌اطًا مُّسْتَقِيمًا

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka 'Bunuhlah dirimu (anfus) atau keluarlah dari kampungmu', niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali hanya sebagian kecil saja dari mereka. Dan sesungguhnya seandainya mereka menjalankan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentu hal yang demikian itu akan lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan pijakan. Dan dengan demikian pasti akan Kami berikan kepada mereka balasan yang besar dari sisi Kami, dan pasti akan Kami tunjukkan Shiratal Mustaqim. – Q.S. An-Nisaa' [4]: 66-68

Persoalan diri manusia beserta seluruh dimensi ruhaniyah-nya merupakan persoalan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, tugas kemursyidan yang hakiki hanya dapat dipikul oleh seseorang yang misi hidup-nya memang sebagai seorang Mursyid, yang telah Allah SWT perkuat dengan nur ilmu kemursyidan.

Secara umum, tugas seorang Mursyid dalam sebuah thariqah adalah untuk memandu para murid hingga mereka dapat bertemu dengan mursyid sejatinya masing-masing, yaitu mursyid yang ada di dalam dirinya sendiri: sang nafs muthmainnah, karena nafs muthmainnah inilah yang telah tertuntun langsung oleh Allah Ta’ala melalui petunjuk-petunjuk-Nya yang terus-menerus. Setelah sang murid diperkuat oleh mursyid sejatinya inilah (mengenal qudrah diri), maka secara formal tugas Mursyid dalam membimbing sang murid telah selesai.

وَتَرَ‌ى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ‌ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَ‌بَت تَّقْرِ‌ضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّـهِ ۗ مَن يَهْدِ اللَّـهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْ‌شِدًا

Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemandupun yang dapat memberi petunjuk kepadanya (waliyan mursyida). – Q.S. Al-Kahfi [18]: 17

Thariqah

Tugas seorang Mursyid dalam sebuah thariqah adalah untuk memandu para murid hingga mereka dapat bertemu dengan mursyid sejatinya masing-masing, yaitu mursyid yang ada di dalam dirinya sendiri.

Tugas Mursyid di dalam suatu thariqah berakhir dengan wafatnya sang Mursyid. Tugas ini tidak dapat diwariskan kepada anak kandung ataupun murid yang paling disayanginya, karena nur ilmu kemursyidan akan diangkat seiring dengan kembalinya sang Mursyid ke haribaan Allah SWT.

Diangkatnya nur ilmu sang ulama adalah melalui kewafatannya, sebab ilmu-ilmu itu berada di dalam dadanya. Kepergian sang Mursyid berarti kepergian nur ilmu tersebut. Tugas kemursyidan di dalam suatu thariqah hanya dapat dilanjutkan oleh seorang murid yang menerima nur ilmu kemursyidan berikutnya.

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba tersebut. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama, sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun maka orang-orang akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang yang bodoh. Ketika mereka ditanya, mereka pun akan berfatwa tanpa dasar ilmu, mereka sesat dan menyesatkan. – H.R. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673

Seorang Mursyid hakiki, dalam menjalankan tugasnya, tidak boleh meminta dan mengharapkan imbalan dari para murid yang dibinanya dalam bentuk apapun. Seluruh tugas kemursyidan dijalankan dengan ikhlas, hanya demi mengharap Wajah dan Keridhaan Allah SWT. Dia-lah yang menjamin kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat.

اتَّبِعُوا مَن لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرً‌ا وَهُم مُّهْتَدُونَ

Ikutilah mereka yang tiada meminta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang terpandu dengan petunjuk (al-muhtaduun). – Q.S. Yaasiin [36]: 21

Tugas pokok seorang Mursyid adalah memandu para murid melalui tiga tahapan besar perjalanan ruhani (suluk). Pertama, memandu sang murid memasuki gerbang taubat, hingga jiwanya mencapai kondisi suci awal (muthahharun). Kedua, memandu menumbuhkan jiwa sang murid hingga terbuka qudrah diri dan mengenal fungsi hidupnya—untuk menjalankan amanah apa sesungguhnya ia diciptakan. Ketiga, memandu sang murid untuk menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qariib) kepada Allah SWT.

Sebagaimana tubuh memerlukan makanan untuk tumbuh, maka jiwa juga memerlukan “makanan” untuk tumbuh. Makanan jiwa berupa ilmu-ilmu haqiqi dan hikmah-hikmah, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya, bahwa yang terpenting dari seorang Mursyid bukanlah karomah-karomah, melainkan kemampuan yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya terkait pembimbingan, penuntunan dan pendidikan jiwa (nafs) manusia. Inilah sebagaimana yang dikatakan Syaikh Al-Akbar dalam Kitab Syathranjul Arifin (Papan Catur Para Arif): “Syarat untuk menjadi seorang Syaikh adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan para murid yang terkait dengan pendidikan, bukan karamah dan kemampuan menyingkap batin seorang murid.”

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرً‌ا كَثِيرً‌ا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ‌ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah menganugrahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa dianugrahi hikmah maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang amat banyak. Dan hanya orang-orang berakallah (ulul albaab) yang dapat mengambil pelajaran. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 269