Iedul Qurban: Penyembelihan Aspek Nafsu-Syahwat dalam Diri

Iedul Qurban: Penyembelihan Aspek Nafsu-Syahwat dalam Diri

Ditulis pada: | Oleh:

Iedul Qurban, bersumber dari dua kata dalam bahasa Arab, "Ied" dari kata ‘aada - ya’uudu, artinya "kembali". Kata "qurban", dari kata qaraba-yaqrabu, yang artinya "mendekat". Iedul Qurban kemudian kita maknai sebagai hari di mana kita belajar untuk kembali merenungi apa yang mendekatkan diri kita kepada Dia, Allah Ta’ala, Sang Maha Lembut.

Banyak cara hamba mendekati Allah. Salah satu caranya adalah dengan mengorbankan sebagian hartanya, yang ditukar dengan daging kambing atau sapi, disertai harapan kiranya Allah menerima kurban mereka, sebagaimana dahulu untuk pertama kalinya Allah menerima persembahan kurban dari manusia: dari Habil, putra Adam a.s.

Yang kita korbankan tentu adalah harta atau sesuatu yang memang terasa berat untuk dilepas. Bukan sekedar harta yang kita keluarkan dengan ringan saja, antara lain karena masih sangat banyaknya sisa harta yang kita miliki.

Mari kita renungkan, adakah layak disebut “berkurban”, sementara tidak ada sebuah rasa pengorbanan terhadap apa yang kita cintai, sehingga menjadikan kita sulit melepaskannya?

لَن تَنَالُوا الْبِرَّ‌ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّـهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (al-birr), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. – Q.S. Ali 'Imran [3]: 92

Bisa kita bayangkan bagaimana seorang Ibrahim a.s. mengeluarkan ratusan unta untuk daging kurbannya. Bahkan Beliau a.s. mematuhi perintah Allah SWT untuk mengurbankan anaknya sendiri Ismail a.s. yang begitu dicintainya!

Tentu logika pemikiran kita perlu diajak untuk memaknai, mengapa akhirnya kita mahfum bahwa betapa banyak umat Islam—mungkin termasuk diri kita sendiri—yang setiap tahun sanggup mengeluarkan sebagian dana untuk berkurban, namun yang kita peroleh dari penyisihan dana itu tiada berbekas. Ia hanya lewat begitu saja, tidak membawa perubahan sedikit pun di dalam diri kita.

Apakah hakikat Iedul Qurban berhasil kita peroleh, ketika “kedekatan dengan Allah” yang menjadi intisari amal ini, ternyata tidak bertambah? Ketika jiwa kita ternyata tidak menjadi semakin halus, jasad kita tidak semakin beramal baik, sementara melalui ied kita berharap menemukan amal shalih terbaik kita?

Nama lain dari Iedul Qurban adalah Iedul Adha. "Adha" memiliki makna penyembelihan, bahwa ada sesuatu yang musti kita sembelih di setiap perayaan Iedul Adha setiap tahunnya.

Ketika sebagian dari kita belum berkemampuan untuk menyisihkan sebagian dana yang kita miliki untuk berkurban, mengorbankan harta dan menyembelih hewan kurban, kita sebenarnya telah Allah beri kemampuan sebuah moda penyembelihan yang lain: yakni menyembelih dominasi aspek hawa nafsu dan syahwat kita. Bukankah hal-hal itu yang memang menggiring seseorang menjadi berperilaku layaknya "hewan sembelihan", seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Mereka itu bagaikan binatang ternak (al-an'aam), bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. – Q.S. Al A’raaf [7]: 179

Maka sudah waktunya kini, saat kita memasuki pergantian tahun baru Hijriah ini, perilaku kita pun berganti. Mari kita sama-sama belajar untuk “menyembelih” dominasi aspek kedengkian, aspek ketakaburan, aspek buruk sangka, aspek keinginan pengakuan bahwa diri ini lebih berharga di mata orang lain, dan segala aspek lainnya yang menuntun kita pada sifat-sifat “hewan ternak”.

Sungguh tidak mudah menyembelih semua dominasi syahwat dan hawa nafsu ini. Tidak mudah untuk, misalnya, belajar menghargai waktu, belajar memaafkan orang lain, belajar berjuang untuk menemukan amal-amal shalih kita.

Tapi, yang membuat kita senantiasa memiliki harapan kuat, adalah bahwa Allah tidak pernah merasa bosan menerima, dan menerima terus, setiap penyesalan kita, setiap kesadaran diri kita yang lemah, dan setiap pengakuan dosa kita. Semoga pengakuan ini menjadi tanda bahwa kita memang butuh—dan selalu membutuhkan—Dia, Sang Maha Pengayom dan Pembuka Jalan.

Semoga kita berhasil merayakan Iedul Qurban atau Iedul Adha kita dengan bersama-sama membangun kesadaran diri yang lebih baik lagi.

Ya Allah, semoga pengorbanan hamba, demi taqarrub kepada-Mu, Engkau terima. Semoga Engkau beri pula hamba kekuatan untuk dapat “menyembelih” setiap dominasi hawa nafsu dan syahwat yang senantiasa menenggelamkan hamba ini. Amin, Gusti. []