Al-Hikam Pasal 59: Besar Kecilnya Dosa

لَا يَعْظُمُ الْذَّنْبُ عِنْدَكَ عَظَمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسْنِ الْظَّنِّ بِالْلَّهِ تَعَالَىْ؛ فَإِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اسْتَصْغَرَ فِيْ جَنْبِ كَرَمِهِ ذَنْبُهُ

"Janganlah membesarkan dosa (dengan suatu) kebesaran (tertentu) di sisimu, (sedemikian rupa sehingga) menghalangimu dari berprasangka baik kepada Allah Ta'ala; karena sesungguhnya barangsiapa mengenal Rabb-nya, maka ia akan menganggap kecil dosanya di sisi kemuliaan-Nya."

Syarah

Ini adalah tentang sesuatu di sisi kita. Apa yang ada di sisi kita, bisa amal baik, bisa amal buruk. Apa yang di sisi makhluk, dibawa ke sisi Allah. Kalau apa yang ada di sisi kita, kemudian kita membesar-besarkannya, itu malah menjadi tidak melihat Allah sebagai Dzat Yang Maha Pengampun.

Pengetahuan kita yang sedikit tentang Allah Ta’ala, bisa membuat kita menjadi menggampangkan berbuat dosa, di sisi lain juga bisa membuat orang menjadi tidak melihat sifat Allah yang lain hingga kemudian berputus asa dari rahmat Allah—karena sebuah dosa (kejatuhan).

Manusia adalah tempat salah dan khilaf dalam arti yang sesungguhnya, yang dipasangkan dengan sifat Allah yang hadir dengan sifat Cinta Kasih dan Penuh Pemaafan. Allah Ta’ala hadir dengan sifat Cinta Kasih, lagi Maha Pengampun. Itu adalah pasangannya. Manusia sebagai tempat berbuat salah, dan Allah dengan sifat Cinta Kasih-Nya.

Adapun semakin tinggi maqam seseorang, maka akan semakin sensitif terhadap konsekuensi dosa. Menjadi sensitif terhadap hukuman Allah Ta’ala. Siapa yang maqamnya lebih tinggi, mesti waspada, mesti hati-hati terhadap perbuatan-perbuatannya.

Allah Ta’ala adalah Dzat yang mencintai kepemaafan. Di antara kita, wajib saling berwasiat. Jika Allah Maha Pemaaf, maka kita sebagai insan pun mesti pemaaf juga.

Allah Ta’ala berfirman,

“Hai Anak Adam, selama kalian berdoa dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikan ampunan kepada kalian atas semua dosa yang kalian lakukan tanpa Kupedulikan. Hai Anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai ketinggian langit, kemudian kalian memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni semua dosa yang telah kalian lakukan tanpa Kupedulikan. Hai Anak Adam, seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian kalian datang kepada-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang dengan membawa ampunan sepenuh bumi.” — H.R. At-Tirmidzi

Dalam riyadhah juga mesti kosong, datang kepada Allah dengan semua keadaan kita. Mesti lepas, tidak histeris. Histeris dalam riyadhah, seperti membawa penyesalan yang dalam dalam arti membesar-besarkan, dan hal tersebut tidak efektif dalam riyadhah.

Dalam suluk, ada orang yang datang dengan kesalahannya, keinginannya hanya ingin diampuni. Itu lebih baik, karena harapannya hanya ingin diampuni—tidak yang lain, karena esensi dari riyadhah adalah pertaubatan.

Masalah ibadah adalah masalah tanggung jawab pribadi. Hendaklah pada setiap hal, kita mencari berkah terbaiknya, di setiap waktu, di setiap tempat. Takwa dalam setiap keadaan.

Rasulullah SAW bersabda, "Ma’rifat adalah modalku."

Ketika shalat, kita harus memberikan yang terbaik. Hal pertama yang mesti diperhatikan adalah tentang shalat. Barang siapa yang menyia-nyiakan shalatnya, maka hal yang lain akan lebih disia-siakan lagi. Orang beriman itu kehidupannya bertumpu pada shalatnya. Hendaklah banyak berdoa ketika sujud, karena itu adalah saat yang terdekat hamba dengan Rabb-nya.

Masalah ma’rifat adalah masalah membangun pengetahuan pribadi, dan itu sangat pribadi sekali. Tidak bisa kita menggantungkan kepada yang lain. Kalau fondasinya rapuh, maka tidak bisa menjadi bangunan yang kokoh. Dan shalat lah yang menjadi “keajaibannya”, yang menjadi fondasinya.

Tidak ada seorang mukmin pun yang terlampau percaya diri bisa menyelesaikan setiap persoalan kehidupannya. Kita harus mengandalkan sujud kita, doa kita, pengharapan kita kepada Allah Ta’ala. Jika kita tinggal di gudang ilmu sekalipun, bilamana tidak Allah berkati—tidak akan membawa manfaat. Kita mesti selalu berdoa kepada Allah di setiap hembusan nafas. Mereka yang tidak berdoa kepada Allah adalah orang yang sombong. Apapun masalah kita, Allah lah yang menyelesaikan. Itulah bentuk ubudiyah kita.

Segala hal di luar shalat adalah ujian. Kita harus khawatir dengan tipuan dari sebuah ujian. Kemana pun kita pergi, banyak tipuannya. Bahkan dalam karunia Allah sekalipun. Kita tidak mengetahui bagaimana mengolah otak kita dengan baik, pemikiran kita, kesehatan kita. Tidak sedikit waktu luang kemudian menjadi sebuah musibah. Kesehatan pun bisa menjadi musibah.

Harus takut kepada Allah Ta’ala. Memohon bimbingan-Nya, perlindungan-Nya di setiap hal. Semua hal yang Allah datangkan bisa menjadi fitnah, kecuali mereka yang berlindung kepada Allah Ta’ala. Jangan berhenti berdoa. Mohon selalu perlindungan, bahkan ketika mengkaji Al-Qur’an sekalipun.

Shalat

Tidak ada seorang mukmin pun yang terlampau percaya diri bisa menyelesaikan setiap persoalan kehidupannya. Kita harus mengandalkan sujud kita, doa kita, pengharapan kita kepada Allah Ta'ala.

Seorang pejalan adalah seorang yang betul-betul mengandalkan Allah di setiap saatnya. Memohon di setiap hal, meminta atas segala hal, bahkan kreatifitas pun memohon bimbingan—dari semua hal yang Allah datangkan, senantiasa memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala.

Bahkan mimpi pun bisa jadi ujian. Seseorang bisa diuji di dalam mimpi tentang sebuah hukum.

Semua hal yang Allah datangkan bisa jadi ujian.

Rentang dosa sangat luas, dari hal yang sangat remeh sampai hal yang berat. Dosa kecil jika dilakukan rutin akan menjadi bukit juga, membesar dan semakin membesar. Dosa kecil yang dianggap remeh akan menjadi besar juga.

Setiap orang ada spektrum dosanya. Amat jarang yang kemudian memandang sesuatu hal sebagai adz-dzanbu, karena dianggapnya sebagai sesuatu hal yang kecil.

Semakin khusus seseorang, maka semakin bersih hatinya. Bagi orang yang khusus, semua hal menjadi adz-dzanbu.

Seperti kisah Nabi Yaqub a.s. yang dibuat buta berpuluh tahun, seolah-olah beliau kurang hati-hati menitipkan anaknya ke kakak-kakaknya, dan tidak menitipkan dulu ke Allah Ta’ala. Bagi seorang Nabi, itu adalah hal yang fatal, hingga kemudian Nabi Yaqub a.s. menjadi buta. Tapi seorang Nabi Yaqub a.s. tidak berputus asa dari rahmat Allah, hingga kemudian mencium wangi Nabi Yusuf a.s. dan sembuh dari kebutaannya.

Contoh dari Nabi Yaqub a.s. itu bisa terjadi pada kita. Ketika kita menitipkan (masa depan) anak kita, semestinya ke Allah dulu. Tidak langsung ke perencanaan, langsung menitipkan ke sebuah sekolah, dan lain sebagainya. Bisa jadi kita buta hati, karena kita lebih yakin kepada yang lain, dan tidak menitipkan ke Allah Ta'ala dulu, seperti contoh kisah Nabi Yaqub a.s. yang menitipkan Yusuf a.s. kepada kakak-kakaknya.

Namun, demikian pula, kita mesti seperti Nabi Yaqub a.s.: tidak berputus asa dari rahmat Allah. Tidak berputus asa dari Ruh Allah. Tidak berputus asa dari bertemu diri.

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِن رَّ‌وْحِ اللَّـهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِن رَّ‌وْحِ اللَّـهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُ‌ونَ

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah (ruhillah). Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. – Q.S. Yusuf [12]: 87

Mengapa kita tidak bertemu diri, atau suluk tidak ada perkembangan, adalah karena kita sendiri lah yang tidak pandai mengelola munajat kita kepada Allah Ta'ala. Jangan salahkan siapapun, bukan salah mursyidnya, bukan salah agamanya. Itu adalah karena kesalahan kita yang kurang cerdas dan rapih dalam memanfaatkan dialog dengan Allah Ta'ala di setiap saat. Itu hal yang gratis, yang bisa dilakukan oleh setiap kita. Karena bukan mursyid yang berkuasa, bukan pula Nabi, namun Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu.

Dan musuh dalam diri sangat banyak: pikiran, perasaan, hawa nafsu, ilmu kita, cahaya kita, karunia Allah yang lain bisa jadi musuh kita semua. Oleh karena itu, sebagaimana kata Imam An-Nifari, “Hamba yang dipercaya adalah mereka yang mengembalikan atau menyerahkan semua hal kepada Allah Ta’ala.”

Allah akan memberi sesuatu, namun kita mesti bermohon. Ya Allah, hamba adalah seorang yang tidak paham, hamba seorang yang faqir ihwal semua yang Engkau karuniakan kepadaku. Pada semua hal, ilmu kita, pangkat kita, kecerdasan kita. Ya Allah, ini buat apa? Bagaimana mengelolanya agar manfaat?

Jadikanlah pada setiap hal yang Allah berikan, kita mohonkan kepada Allah. Dan ubah setiap hal, menjadi sebuah kendaraan terbaik kita di akhirat nanti. Baik itu pulpen kita, kacamata kita, buku kita, kertas kita, handphone kita. Semua hal yang Allah beri!

Ya Allah beri hamba kemampuan untuk mengelola semua hal yang Engkau berikan dengan benar, agar sesuai dengan yang Engkau kehendaki, di dalam keridhaan Engkau.

Siapa yang sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, maka Allah pasti akan menjamin.