Al-Hikam Pasal 12: Uzlah dan Tafakkur

مَا نَـفَعَ الْقَلْبَ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانَ فِكْرَةٍ 

"Tidak ada sesuatu pun yang lebih membawa manfaat bagi qalb sebagaimana uzlah, yang dengan (uzlahnya) itu masuk ke medan tafakkur."

Syarah

Kata uzlah dalam Al-Hikam Pasal 12 ini bukanlah mengasingkan diri dari hiruk-pikuk urusan dunia atau menghindar dari persoalan keseharian, namun merenung dan berfikir mengenai apapun persoalan yang sedang Allah hadirkan, dengan ikhlas dan tidak mengeluh. Ini inti uzlah sebagai «midana fikrah» (medan tafakkur). 

Inti dari uzlah adalah untuk memasuki medan berpikir (medan tafakkur). Proses berpikir harus dilalui dengan belajar, yang harus diawali dengan niat agar dapat memberi manfaat untuk orang lain. Jika belajar tidak dengan niat yang benar, maka Allah akan menimpakan rijsa kepadanya. Yang dimaksud Ar-rijsa adalah kemurkaan Allah—yang bisa muncul dalam bentuk berbagai kesulitan hidup.

Dalam Mukhtarul Ahadits Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka akan semakin jauh dirinya dari Allah.” Orang yang semakin jauh dari Allah, maka akan semakin bingung menghadapi kehidupan.

 

... وَيَجْعَلُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ ۚ

Dan Tuhanmu berfirman: "“…dan Allah akan menimpakan rijsa kepada mereka yang tidak menggunakan aql mereka." – QS. Yunus [10] : 100

Siapapun yang tidak menghidupkan aql-nya, yaitu akal hatinya—bukan sekadar akal pikiran semata—maka otomatis ditimpa kesulitan hidup. Hidup akan terasa membingungkan dan sulit dipahami baginya.

Kalau kita tidak merenung, maka kita akan ditimpa kebingungan dalam kehidupan. Akan selalu ada ketidakpuasan tertentu dalam hidupnya, yang pada akhirnya akan mengacaukan dirinya sendiri. Hal itu adalah sebuah bentuk dari rijsun.

Uzlah itu penting dilakukan hingga hati menjadi kuat. Jika hati masih runtuh saat dikritik atau dihina orang, itu berarti hatinya belum kuat. Demikian pula, jika dipuji hati masih meluap bangga diri, berarti hatinya adalah hati yang perlu untuk ber-uzlah.

أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ

"Maka, tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya, bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada." – QS. Al-Hajj [22]: 46

“Berjalan di bumi” artinya bertafakur membaca kehidupan, bukan sekadar berjalan untuk bepergian berdarmawisata. Kalau kita jalan di bumi ini hanya untuk bersenang-senang atau bermain-main, justru hati akan menjadi mati. Maka dari itu kita harus merenung saat menapaki bumi ini dan berjalan-jalan di atasnya.

Semakin usia seseorang bertambah, maka kehidupannya pun akan semakin kompleks. Itu sebenarnya karena Allah semakin mengajari. Kalau kita tidak mengembangkan qalb dan tafakur, tidak merenung, maka kita malah akan semakin tergerus terus oleh mekanisme Allah itu. Akan semakin mempertanyakan hidupnya sendiri, kenapa begini dan kenapa begitu. Hidup tidak puas dan kacau. Itu rijsun, sesuatu yang digambarkan di sini sebagai kemurkaan Allah. Akan tetapi, sebetulnya bukan “kemurkaan”, melainkan kebingungan dalam hidupnya.

Ujian dalam hidup akan terus datang dan semakin meningkat, karena orang beriman itu akan diuji. Tidaklah seseorang Allah buka hatinya, lalu ingin hidup tenang tanpa persoalan. Tidak bisa—sementara dalam hatinya masih begitu banyak penyakit hati: ada dengki, bangga diri, riya', ingin dikenal orang, dan sebagainya.

Karena itu, jika seseorang sekali ditaubatkan, maka Allah akan terus menariknya mendekat. Namun, ada yang panik dan ketakutan, dan ada pula yang tenang.

Dengan merenung saat menjalani kehidupan di dunia, maka hati akan terbuka, diberi pemahaman, sehingga tidak lagi buta hatinya.